Featured Post Today
print this page
Latest Post

22 Nasehat Al-Habib Abdullah bin Alwi Alattas dalam Mendidik Anak



22 Nasehat Al-Habib Abdullah bin Alwi Alattas dalam Mendidik Anak

1. “Apabila kalian ingin agar anak-anak kalian menjadi anak yang cerdas dalam berfikir (tangkas), maka lazimkan agar banyak bergerak.”

2. “Apabila kalian ingin agar mereka menjadi anak yang sehat maka lazimkan agar bangun akhir malam.”

3. “Apabila kalian ingin agar mereka bercahaya hatinya dan pemahamannya terbuka, maka lazimkan agar sedikit makan dan rasa lapar.”

4. “Apabila kalian ingin agar mereka berakhlaq bagus maka lazimkan untuk berteman dengan teman yang bagus serta kalian jaga dari teman-teman yang jahat.”

5. Apabila kalian ingin agar mereka memiliki rasa kasih sayang, maka lazimkan mereka untuk mencari ilmu di selain kampungnya dan carikanlah guru selain kalian.”

6. Apabila kalian ingin agar mereka menjadi anak yang shaleh, maka jangan kalian agungkan urusan dunia di hadapan mereka.”

7. “Apabila kalian ingin agar mereka menjadi waliyullah dan selalu dalam hidayah, maka lazimkan mereka untuk makan makanan halal, serta kalian jaga dengan sungguh-sungguh ¬ dari perkara syubhat.”

8. “Apabila kalian ingin agar mereka mempunyai sifat dari sifat-sifatnya orang mulia, maka pilihlah baginya ibu dari keluarga yang mulia.”

9. “Apabila kalian ingin agar mereka menghormati dan memuliakan kalian, maka jangan banyak berkata kasar yang memberatkan mereka dan jangan banyak berkata lembut yang membuat mereka meremehkannya. Akan tetapi berkatalah kepada mereka seperlunya saja.”

10. “Apabila kalian ingin agar urusan mereka selau dipegang oleh Allah Swt., maka jangan memperbanyak lemah lembut/kasihan kepada mereka.”

11. “Apabila kalian ingin agar mereka selalu beruntung dalam urusan agama dan dunianya, maka wajib untuk kalian selalu ikhlas dalam segala amal dan jauhilah perkara haram dan syubhat.”

12. Apabila kalian ingin agar mereka menjadi pemberani, maka lazimkan kepada mereka untuk dermawan.”

13. “Apabila kalian ingin agar mereka bebas dari sifat-sifat munafik, maka lazimkan mereka untuk shalat berjamaah di masjid pada awal waktu.”

14. “Apabila kalian ingin agar mereka selalu khusyuk dan takut kepada Allah Swt., maka lazimkanlah kepada mereka al-Quran di waktu sahur.”

15. “Apabila kalian ingin agar mereka dijaga dari setiap bencana, maka lazimkan mereka untuk beristighfar di waktu sahur (sebelum Shubuh).”

16. “Apabila kalian ingin agar mereka kaya (kaya hati), tercapai segala cita-cita dan dijaga dari segala bencana, maka lazimkanlah mereka agar selau membaca shalawat kepada Nabi Saw. dengan cara dibaca waktu malam 92 kali dan siang 92 kali, yakni shalawat Thibbil Qulub:

اَللَّهُمَّ صَلِّعَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا , وَنُوْرِ الاَبْصَارِ وَضِيَائِهَا , وَعَافِيَةِ الاَبْدَانِ وَشِفَائِهَا , وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

(Allaahumma sholli ‘alaa sayyidinaa muhammadin thibbil quluubi wadawaa-ihaa wanuuril abshoori wadhiyaa-ihaa wa‘aafiyatil abdaani wasyifaa-ihaa wa‘alaa aalihi washohbihi wasallim).”

17. “Apabila kalian ingin agar mereka mendapatkan husnul khatimah ketika meninggal, maka lazimkan mereka membaca 41 kali:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ

(Yaa Hayyu Yaa Qayyuumu Laa Ilaaha Illa Anta). Dibaca di antara shalat Qabliyah Shubuh dan shalat Shubuh.”

18. “Apabila kalian ingin agar mereka panjang umur, maka bersedekahlah untuk mereka, dan ajarkan kepada mereka hal tersebut agar mereka mengerjakannya setelah kalian.”

19. “Apabila kalian ingin agar mereka menjadi kuat dan penyabar, maka jauhkan mereka dari kampung halaman untuk menziarahi orang-orang shaleh yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal untuk mendapatkan keberkahan dari mereka.”

20. “Apabila kalian ingin agar mereka selalu berprasangka baik kepada orang-orang pilihan Allah Swt., dan jauh dari berprasangka buruk, maka larang mereka untuk duduk dengan orang-orang bodoh yang tidak peduli dengan perkara agama mereka.”

21. “Apabila kalian ingin agar mereka menjadi seorang pemimpin kaum (orang terpandang), maka jauhkan mereka dari orang-orang bodoh yang tidak peduli dengan perkara agama mereka.”

22. “Apabila kalian menghendaki mereka menjadi pemuka agama (tokoh agama dan masyarakat) maka cegahlah mereka dari pada berkumpul atau ¬bergaul dengan perempuan dan orang tua dan lazimkan bagi mereka berkata benar atau jujur serta tawadhu’ (merendah).”

Itulah beberapa nasehat al-Habib Abdullah bin Alwi Alattas dalam mendidik anak dan juga untuk kita amalkan agar kita mendapatkan manfaat seperti nasehat tersebut di atas.
0 comments

al-Habib Ali bin Hasan al-Aththas shohib Masyhad

Beliau adalah Al-Habib Abu Hasan Ali bin Hasan bin Abdullah bin Husein bin Umar bin Abdurrahman bin Aqil Al-Aththas bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman As-Seqqaf bin Muhammad Mauladawileh bin Ali Maula Darak bin Alwy al-Ghuyyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Ar-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein As-Sibthi bin Ali Abi Thalib ibin Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.  

Beliau dilahirkan di Huraidhah, Hadhramaut. Pada malam Jumat, Rabiul Tsani tahun 1121 H. Beliau wafat di Masyhad, Gheywar pada tahun 1172 H. pada usia 51 tahun. Beliau mengambil thariqah, tasawuf dari kakeknya yaitu dari al-Habib Husein bin Umar bin Abdurrahman al-Aththas.

Al-Habib Ali bin Hasan al-Aththas beliau berkata, “Saya membaca pada al-Habib Husein bin Umar al-Aththas, kitab Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali. Al-Adzkar karya al-Imam Muhyiddin Nawawi. Al-Fushulul Muhimmah fi fadhailil A-immah karya Ibnush Shobbagh al-Maliki.” Selain itu beliau pun mempelajari kitabSyarh al-Hikam karya asy-Syekh Muhammad bin Ibrahim bin ‘Ubbad an-Nafi ar-Randi, kitab Syarah Qasidah al-Hamaziyah-nya Imam al-Bushiri karya Syekh al-Imam Ibn Hajar al-Haitami dan masih banyak lagi. Kakeknya Al-Habib Husein inilah guru paling utama dari Al-Habib Ali bin Hasan Al-Aththas.

Selain itu beliau juga belajar pada ulama-ulama lain pada zaman itu (Abad XII H) sehingga beliau menjadi ulama yang disegani dan unggul dalam ilmu dzahir dan bathin.
Di antara karya-karya beliau adalah sebagai berikut :
1.    Al-Qirthas fi Manaqibil Aththas, kitab ini yang paling termashyur di antara karya beliau yang lain.
2.    Silwatul Mahzun Wa Izwatal Mamhun.
3.    Mizajut Tasnim fi Hikami Luqmanil Hakim.
4.    Khulashatul Maghnam Wa Bughyatul Muhtam Bismillahil A’zham.
5.    ‘Athiyyatul Hanniyah Wal Washiyyatul Mardhiyyah.
6.    Al-Maqshad Ila Syawahidil Masyhad.
7.    Ar-Riyadhul Muniqah Fil Al-Fazhil Mutafarriqah.
8.    Muqaddimatu Najwa Dzawil Maqamatis-Sirriyyah Wa Muqaddimatu Jaysil Maqamatil Haririyyah.
9.    Safinatul Badhayi’ Wa Dhaminatudh Dhawayi’.
10. Sebuah Diwan (kumpulan syair) yang berjudul Qalaidul Hisan Wa Faraidul Lisan.
11. Ar-Rasail Al-Mursalah Wal Wasail Al-Mushalah.
Al-Habib Ali bin Husain Al-Aththas penyusun kitab Tajul A’ras Fi Manaqib Al-Habib Al-Quthb Shaleh bin Abdullah Al-Aththas berkata : Al-Habib Ali bin Hasan juga memiliki karya-karya yang lain yaitu :
1.    Kitab Asy-Syawahid Wasy Syawarid, tentang kata-kata hikmah dari Yunani.
2.    Kitab tentang lafazh Wasiat yang selayaknya dipersiapkan oleh seorang muslim sebelum kematiannya.
3.    Kitab Al-Hadrah Ar-Rabbaniyyah Wan Nazrah Ar-Rahmaniyyah dan lain-lain.


Al-Habib Ali bin Hasan Al-Aththas di dalam Kitab Al-Qirthas menerangkan tentang keutamaan menyusun dan menyebarluaskan sejarah hidup dan manaqib orang-orang sholeh. Beliau berkata,” Di antara keutamaan membukukan, menulis dan menyebarluaskan sejarah hidup orang-orang sholeh adalah demi untuk mencintai orang-orang sholeh sebagaimana yang disebutkan Baginda Nabi SAW dalam sabdanya :” Sesungguhnya seseorang telah ridho dan senang mengikuti petunjuk dan amalan seseorang yang sholeh, maka ia akan semisal dengannya dan seseorang yang mencintai sekelompok orang, maka akan dikumpulkan bersama mereka, sebab seseorang akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya”. Di dalam Shahih Bukhari disebutkan ada seorang laki-laki bertanya kepada Baginda Nabi SAW :” Bilakah tibanya hari kiamat?”

Tanya beliau SAW,” Apa yang engkau siapkan untuk menghadapinya?”

Jawab lelaki itu,” Aku tidak menyiapkan apapun, selain hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya”.

Maka sabda Baginda Nabi SAW,” Maka engkau akan dikumpulkan dengan orang yang engkau cintai.”

Selanjutnya kata sahabat Anas ra.,”Sesungguhnya aku mencintai Nabi SAW dan aku pun mencintai Abu Bakar dan Umar, semoga aku dikumpulkan bersama dengan mereka, meskipun aku tidak bisa melakukan amal-amal kebajikan sebanyak yang mereka lakukan.””

Al-Habib Ali bin Hasan Al-Aththas berkata,” Aku mencintai Allah dan Rasul-Nya, para sahabat-sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka, dan aku pun mencintai Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Aththas. Karena itu aku berharap, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku berkat mereka semua.”

Di antara faedah dari mencintai orang-orang sholeh adalah, seperti yang diungkapkan Sayyidi Syekh Abdu Sholeh Hamdun bin Amara Al-Khisar An-Naisaburi :”Barangsiapa yang mempelajari sejarah hidup orang-orang sholeh terdahulu maka ia akan mengetahui segala kekurangannya dan ketinggalannya dari orang-orang yang telah berhasil meraih kedudukan tertinggi”. Ucapan ini dinukil juga oleh Imam Khusairi.rhm di dalam risalahnya.

Ketika Syekh Zakaria bin Muhammad, mengomentari ucapan tadi  Sayyidi Syekh Abdu Sholeh Hamdun  maka ia menyebutkan di dalam kitab syarah-risalah : “Sebab sahabat-sahabat Nabi SAW telah mengorbankan harta mereka dan diri mereka di jalan Allah, mereka menjual diri mereka kepada Allah dan mereka memenuhi janji mereka kepada Allah. Demikian pula kaum tabi’in (pengikut), mereka telah pula menghabiskan kesempatan diri mereka untuk menuntut ilmu dan melakukan amal-amal kebajikan, serta berpaling dari kesenangan duniawi. Seseorang yang memperhatikan sejarah hidup orang-orang sholeh, kemudian ia membandingkan dirinya dengan orang-orang yang terkemuka itu maka ia tidak akan mendapati. Maka mereka akan menjadi rindu kepada Tuhan mereka”.

Menurut Al-Habib Ali bin Hasan Al-Aththas maksud dari kata mencium dari bau harumnya seorang wali adalah, mendengarkan sejarah hidup para wali itu, baik dari segi akhlaknya, ketekunan ibadahnya dan kekerasan serta karamah-karamah yang mereka peroleh, maka tidak diragukan lagi berita-berita itu akan mengena di hati orang dan akan menjadikannya ia rindu kepada Tuhan Yang Mengetahui Segala yang Ghaib, dan berita-berita itu akan mendorongnya makin bergairah untuk meningkatkan prestasi pengabdiannya kepada Allah SWT, sebagaimana sebuah besi magnetis akan menarik besi lainnya.

Syakhik Al-Balqhi.rhm berkata,”Seorang yang tidak mengasihani seseorang yang telah berbuat kesalahan maka sesungguhnya ia lebih jahat daripada orang yang berbuat kesalahan itu, seseorang yang tidak terpesona oleh manisnya kisah seorang wali maka itu adalah orang yang buruk.”

Imam Muhyiddin an-Nawawi.rhm menyebutkan di dalam mukadimah kitab majemuk al-Kabiir,” Hendaknya seorang murid mengenal nama-nama para sahabat dan para ulama lengkap dengan julukan mereka, sejarah hidup mereka, nasab mereka dan sifat-sifat mereka”. Selain itu di bagian akhir mukadimah kitab Thadzibul Asmaa-i Wal Lughat, beliau menyebutkan,” Ketahuilah, bahwa untuk mengenali nama-nama orang sholeh beserta keadaan mereka beserta tingkatan mereka mempunyai faedah yang banyak diantaranya adalah mengetahui dengan baik sejarah hidup mereka, sehingga suri tauladan mereka dapat diikuti dan dapat menghormati mereka menurut kedudukan yang semestinya”. Sehubungan dengan ini Sayidah Aisyah.rha pernah berkata,” Kami diperintahkan Rasulullah SAW untuk menghormati manusia menurut kedudukannya masing-masing.”

Selanjutnya  Al-Habib Ali bin Hasan Al-Aththas menuturkan,”Ketika guru kami Al-Habib Husein bin Umar bin Abdurrahman Al-Aththas menyuruhku membaca sebuah kitab tentang sejarah perjalanan sesepuh kami ahli bait, yaitu ketika aku mulai belajar ilmu agama dari beliau, maka sebagian orang berkata kepada beliau,” Mengapa engkau menyuruh anak ini membaca sejarah hidup ahli bait?”, maka Al-Habib Husein berkata,” Kami ingin agar ia mengenal sejarah hidup kaum salafnya yang sholeh, agar ia dapat mengikuti suri tauladan mereka yang baik.”

Selanjutnya Al-Habib Ali bin Hasan Al-Aththas menuturkan,“Al-Qur’an Al-Aziz banyak mengutarakan sejarah hidup orang-orang terkemuka dan berita orang-orang baik maupun orang-orang jahat, baik secara terperinci maupun secara ringkas, semua itu disebutkan agar diambil pelajaran dari kisah-kisah itu. Demikian pula kaum ulama banyak yang menulis sejarah hidup orang –orang sholeh yang terkemuka, di antaranya Imam Bukhari sendiri pernah menyusun bab sejarah hidup orang-orang sholeh yang terkenal. Apa yang saya tuangkan di atas tentang sekelumit keutamaan mencatat dan mengenali sejarah hidup orang-orany yang sholeh merupakan pengetahuan yang cukup tinggi nilainya bagi orang-orang yang mencintai mereka dan yang mengikuti suri tauladan baik mereka.”

Sanad Al-Habib Ali bin Hasan Al-Aththas yang beliau terima dari gurunya yang mulia Al-Quthb Kabir Al-Imam al-Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin Salim.rhm

Beliau belajar dari gurunya :
  1. Al-Habib Husein bin Umar bin Abdurrahman Al-Aththas dari ayahnya,
  2. Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Aththas dari gurunya,
  3. Al-Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin Salim dari saudaranya,
  4. Al-Habib Umar Al-Mukhdor bin Syekh Abu Bakar bin Salim dari ayahnya,
  5. Quthb Fakrul Wujud Syekh Abu Bakar bin Salim dari gurunya,
  6. Al-Habib Syihabuddin Ahmad bin Abdurrahman dari ayahnya,
  7. Al-Habib Abdurrahman bin Ali dari ayahnya,
  8. Al-Habib Ali bin Abu Bakar As-Sakran dari ayahnya dan pamannya,
  9. Al-Habib Abu Bakar Sakran dan Al-Habib Umar Al-Mukhdor, beliau berdua menerima dari ayahnya Al-Habib Quthb Kabiir Abdurrahman As-Seqqaf dari ayahnya,
  10. Al-Habib Muhammad Mauladawileh dari ayahnya,
  11. Al Imam Ali Maula Darrak dari ayahnya,
  12. Al-Imam Alwy Al-Ghuyyur dari ayahnya,
  13. Al-Imam Sayyidi Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy dari ayahnya dan pamannya
  14. Al-Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbath dan Al-Imam Alwy ‘Ammal Faqih beliau berdua dari ayahnya,
  15. Al-Imam Muhammad Shahib Marbath dari ayahnya,
  16. Al-Imam Ali Khali Qasam dari ayahnya,
  17. Al-Imam Alwy Shahib Shamal dari ayahnya,
  18. Al-Imam Muhammad dari ayahnya,
  19. Al-Imam Alwy Ba’Alawy dari ayahnya,
  20. Al-Imam Ubaidullah dari ayahnya,
  21. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir dari ayahnya,
  22. Al-Imam Isa Ar-Rumi dari ayahnya,
  23. Al-Imam Muhammad An-Naqib dari ayahnya,
  24. Al-Imam Ali Al-Uraidhi dari ayahnya,
  25. Al-Imam Ja’far Shadiq, dari ayahnya,
  26. Al-Imam  Muhammad Al-Baqir ayahnya,
  27. Al-Imam Ali Zainal Abidin dari ayahnya dan pamannya,
  28. Al-Imam Husein dan Al-Imam Hasan dari ayahnya,
  29. Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib dari 
  30. Baginda Nabi Rasulullah SAW dari Malaikat Jibril as. dari Allah SWT

Sayyidina Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy beliau juga menerima sanad dari jalur lain selain dari ayah dan pamannya yakni dari gurunya :
  1. Sayyidi Syekh Syu’aib Abu Madyan Al-Maghribi, dengan perantaraan Syekh Abdurrahman Al-Muq’ad dan Syekh Abdullah As-Sholeh. Sayyidi Syekh Syu’aib Abu Madyan Al-Maghribi juga memperoleh sanad dari Kanjeng Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
  2. Sayyidi Syekh Abu Ya’izza Al-Maghribi
  3. Sayyidi Syekh Abul Hasan bin Hirzihim (Abu Harazim)
  4. Sayyidi Syekh Abu Bakar bin Muhammad bin Abdullah Ibn ‘Arabi
  5. Sayyidi Syekh Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali
  6. Sayyidi Syekh Al-Imam Haramain Abdul Malik
  7. Imam Muhammad Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini
  8. Sayyidi Syekh Abu Thalib Al-Makki
  9. Sayyidi Syekh Abu Bakar Asy-Syibli
  10. Sayyidi Syekh Al-Imam Abul Qasim Junaid Al-Baghdadi
  11. Sayyidi Syekh As-Sirri As-Siqthi
  12. Sayyidi Syekh Ma’ruf Al-Kharki
  13. Sayyidi Syekh Daud At-Tha’i
  14. Sayyidi Syekh Habib Al-Ajami
  15. Sayyidi Syekh Al-Imam Hasan Al-Bashri
  16. Amirul Mukminin Sayyidina Al-Imam Ali bin Abi Thalib
  17. Sayidina Rasulullah SAW

   Ia menulis dalam Al-Qirthos nishful awwal:
    "Lalu diam-diam aku mulai menulis dan tidak ada selain Allah yang kuberitahu.  Aku merahasiakannya untuk  waktu yang cukup lama.   Suatu hari aku pergi ke kota Qoidun untuk berziarah ke makam As-Syeikh Al-Kabir Said bin Isa Al-Amudi.  Di sana aku bertemu dengan Sayyidiy As-Syeikh Al-‘Arif Asy-Syarif Abubakar bin Muhammad bin Abubakar bin Muhammad Ba Faqih Alawiy.  Habib Abdullah Al-Haddad pernah berkata bahwa beliau menduduki maqom Junaid.  Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Ali, alhamdulillah aku telah bergaul dengan banyak wali Allah.  Di antara mereka adalah kakekmu Umar, murid beliau Syeikh Ali Baros, Syeikh Muhammad bin Ahmad Ba Masymus, Habib Abdullah Al-Haddad, Habib Husein bin Umar Alatas, Habib Isa bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Umar Al-Hinduan..."

    Habib Abubakar menyebutkan nama para wali yang pernah ditemuinya, kemudian Habib Ali bin Hasan melanjutkan ceritanya:

    Setelah itu beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Ali, tulislah, tulislah.’  Aku pun segera sadar bahwa Allah telah memberitahukan niatku kepadanya. (Hal 2)  
    Mulailah Habib Ali bin Hasan melakukan perjalanan untuk menemui orang yang pernah bertemu kakeknya, atau menemui orang yang pernah bertemu dengan orang yang pernah bertemu kakeknya.

Sehubungan dengan rencananya untuk menyusun manaqib kakeknya, Habib Ali bin Hasan bercerita:
Ketika aku masih menulis pengantar buku ini, tiba-tiba seorang syarif majdzub yang bernama Abdurrahman Al-Gushn Ba Alawi  berjalan menghampiriku sambil membaca Quran.  Aku segera berdiri menyambutnya.  Setelah berada dekat denganku, ia menoleh kepadaku lalu mengeraskan bacaannya: Faqshushil Qoshosho la-'allahum yatafakkaruun (Oleh karena itu, ceritakanlah [kepada mereka] kisah itu agar mereka berfikir) Al-A'rof, 176  Aku senang dengan ucapannya ini dan kagum kepadanya.  Lalu kuletakkan ayat  ini dalam kata pengantar bukuku.  (hal 7)

    Semangat Habib Ali bin Hasan tambah menggebu-gebu.  Sebab, sudah ada dua orang arif yang mendukung usahanya.  Dan yang lebih menggembirakan, kedua orang itu tahu rencana penyusunan manaqib bukan darinya.  Tapi Alloh-lah yang menyingkapkan kepada mereka niat baik ini.  Dengan kata lain, bahwa Alloh pun meridhoi niatnya.

    Di samping semua itu masih ada lagi alasan lain yang lebih memantapkan hati habib ini.  Beliau berkata:
    Di antara hal yang mendorongku untuk menulis buku ini adalah apa yang disebutkan oleh pengarang kitab A’maalut Taariikh: Barang siapa menulis tarikh seorang wali Allah Ta’ala maka kelak di hari kiamat ia akan bersamanya.  Dan barang siapa melihat nama seorang wali Allah dalam kitab tarikh karena mencintainya, maka ia seakan-akan telah menziarahinya.  Dan barang siapa menziarahi wali Allah, maka semua dosanya diampuni Allah selama ia tidak mengganggu seorang muslim pun dalam perjalanannya. (hal 43)

Habib Ali bin Hasan sempat merasa kecewa dengan ulamanya zamannya.

Habib Ali bercerita:
    Sebelumnya aku telah mempersiapkan sebuah judul untuk buku ini.  Namun, ketika aku berziarah ke makam Asy-Syeikh Al-Kabir Abdurrahman bin Umar Ba Harmus yang dijuluki Al-Ahdhor* di pekuburan Hitsm di kota Heinein, Allah mengilhamiku untuk memberi judul buku ini Al-Qirthos Fi Manaqibil 'Atthos.  Kurenungkan nama ini, kulihat di Quran kata qirthos disebut beberapa kali.  Di antaranya adalah: walau nazzalnaa 'alaika kitaaban fii qirthoos... (dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas), taj'aluunahuu qoroothis...(kalian jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas), dll.  (hal 5)...   Aku juga melihat tiga huruf terakhir dari kata qirthos senada dengan tiga huruf akhir kata Al-'Atthos.  Dan belum ada seorang penulis pun yang menggunakan nama ini, lagi pula makna kata itu sesuai dengan isi hatiku. (hal 6)

Mengapa garis keturunan Rosul saw ini disebut Al-'Atthos?  Nantikan rubrik berikut.
Keluarga Al-'Atthas adalah keturunan dari Abdurrahman bin Agil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf.

    Kata Al-'Atthas berasa dari kata dasar 'athosa yang berarti bersin.

    Habib Ali bin Hasan Al-'Atthas dalam bagian pertama bukunya yang berjudul Al-Qirthos Fi Manakibil 'Atthos berkata, “Dijuluki Al-'Atthas karena suatu karomah.  Ketika dalam kandungan ibunya, janin keluarga Al-'Atthas bersin dan mengucapkan Alhamdulillah.  Suara bersin ini terdengar padahal ia masih berada dalam kandungan ibunya.  Orang yang pertama kali bersin dalam kandungan ibunya adalah Sayidina Agil bin Salim.  (Al-Mu’jam Al-Lathiif, cet. I 1986, Alamul Ma’rifah, Jeddah hal 134 – 135)

    Habib Ali bin Hasan Alatas berkata bahwa suara bersin dari janin-janin keluarga Al-'Atthas selalu terdengar sepanjang zaman.  Anak beliau, Hasan bin Ali, juga bersin ketika berada dalam kandungan ibunya.  Suara bersin itu hampir menjadi hal yang biasa bagi para isteri keluarga Al-'Atthas.  Di setiap zaman dan tempat banyak diceritakan peristiwa ini.  Suara bersin itu umumnya terdengar pada bulan kesembilan  masa kehamilan dengan syarat suasana tenang.  Suara bersin itu terdengar oleh orang yang hamil dan orang yang berada di dekatnya. (Tajul A’ros I, hal 38-39)

    Apa hubungan Al-'Atthas dengan bin Syeikh Abubakar bin Salim.

Thalhah binti Agil bin Ahmad bin Abubakar As-Sakran mengandung tua.  Ia mulai merasakan tanda-tanda akan melahirkan.  Dari dalam perutnya ia mendengar  perdebatan.

    "Keluarlah kau," kata salah satu janin.

    "Kau saja yang keluar dahulu," kata janin yang lain.

    Janin yang satu mengutamakan janin lain.  Sebab, janin yang keluar lebih dahulu kelak akan menjadi kakak.  Dalam riwayat lain, perdebatan ini sempat membuat sang ibu khawatir.  Sebagaimana kebanyakan ibu, Thalhah menghendaki kelahiran putranya dengan cepat dan selamat.

    Akhirnya salah satu janin itu berkata, "Keluarlah lebih dahulu, nanti aku yang masyhur, tapi sesungguhnya Almasyhuur fii barokatil mastuur(yang masyhur itu ada dalam keberkahan yang tidak tidak dikenal)."

    Tak berapa lama lahirlah bayi yang kemudian diberi nama Aqil, lalu disusul adiknya yang kemudian diberi nama Abubakar.  Aqil inilah kakek keluarga Al-'Atthas, dia juga yang pertama kali bersin dan mengucap hamdalah ketika masih dalam kandungan ibunya.  Jadi, Al-'Atthas adalah kakak dari BSA (bin Syeikh Abubakar bin Salim) [Tajul A’ros juz I Hal 37-38]

Sebagaimana ucapan janin tadi, kita jarang dengar cerita tentang Habib Aqil, tapi lain halnya dengan Syeikh Abubakar.  Sejak kecil Syeikh Abubakar telah masyhur. Habib Aqil bin Salim akan menjadi seorang wali yang mastuur, tapi sebaliknya Syeikh Abubakar bin Salim, adiknya.

0 comments

Kiat Meraih Ilmu Manfaat

Kalam Al-Habib Ali bin Hasan Al-Attas

Meraih ilmu yang bermanfaat tidaklah mudah. Ribuan aral melintang siap menghadang. Otak brilian bukanlah jaminan. Malahan, tak sedikit orang-orang pintar yang mendalami ilmu agama bukannya mendapatkan ilmu bermanfaat, melainkan menjadi oknum-oknum ulama yang justru merongrong akidah agama.

Oleh karena itu, seorang murid yang hendak melangkahkan kakinya untuk menuntut ilmu haruslah terlebih dahulu mengetahui metode belajar yang tepat. Dalam hal ini panduan dari orang tua, para guru, atau mereka yang telah sukses sangatlah diperlukan.

Faktor utama penyebab gagalnya seseorang murid meraih ilmu Rasulullah Saw adalah metode belajar yang keliru. Salah guru, salah kitab dan kesalahan lainnya akan menyebabkan seorang murid salah jalan pula. Berikut adalah panduan tepat dalam meraih ilmu yang bermanfaat  dari al-Imam Habib Ali bin Hasan al-Attas Shohib al-Masyhad.

“Ketahuilah sesungguhnya ilmu pengetahuan ibarat samudera yang tiada bertepi. Luqman al-Hakim pernah ditanya oleh puteranya, “Siapakah yang mampu menampung semua ilmu itu?” “Seluruh manusia” jawab al-Hakim. “Akan tetapi itu sebatas ilmu yang diberikan kepada manusia. Sedangkan Allah menurunkan ilmu di dunia ini dalam bagian yang sedikit saja.” Lanjutnya.

Oleh karena itu, dalam menuntut ilmu, prioritaskanlah ilmu-ilmu yang penting dan bersifat urgen. Mulailah dengan dengan mempelajari kitab-kitab ringkasan (Mukhtasar). Seperti ringkasan Abu Suja’ yang sudah diakui kualitasnya, disertai kitab Bidayatul Hidayah karya al-Ghazali, kitab al-Adzkar karya Imam an-Nawawi. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab al-Minhaj karya an-Nawawi, disertai syarh-syarahnya juga apabila memungkinkan.

Setelah itu, pelajarilah kitab Risalah Qusyairiyah karya Syaikh Abdul Karim al-Qusyairi yang merupakan kitab pedoman bagi pengikut jalan ahlussunnah wal jama’ah. Demikian halnya kitab-kitab karya Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Karya-karyanya sangat bagus dan mendidik, terutama kitab an-Nashaih ad-Dinniyah. Kemudian pelajari pula kitab al-‘Awarif karya Syaikh Umar bin Muhammad as-Suhrawardi dan kita Ihya’ Ulumiddin karya Hujjatul Islam al-Ghazali.

Galilah ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu alatnya yang akan membuatmu mengerti makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dan seandainya mampu, berusahalah menghafalkan Al-Qur’an. Karena terdapat keutamaan yang besar di dalam menghafalkannya. Rasulullah s.a.w bersabda, “Barangsiapa menghafalkan Al-Qur’an maka maqam nubuwah diturunkan ke dalam dirinya, hanya saja ia takkan pernah mendapatkan wahyu.” Bahkan Nabi Musa a.s pernah melukiskan sifat-sifat umat Nabi Muhammad s.a.w di dalam munajatnya. “kitab-kitab suci mereka ada di dalam dada mereka, sedangkan selain mereka membaca kitab suci melalui mushaf-mushaf.” Katanya. Imam Syafi’I berkata, “ apabila seseorang bersedekah dengan niat diberikan kepada qurra’ (orang yang ahli membaca Al-Qur’an), maka sedekah itu diberikan kepada orang-orang yang hafal Al-Qur’an. Dan apabila ada seseorang bersedekah dengan niat diberikan kepada orang yang paling berakal, maka sedekah itu diberikan kepada orang-orang yang berzuhud dari dunia.”

Diantara kitab-kitab tafsir yang sangat penting untuk dibaca dan dipelajari adalah tafsir karya Imam al-Husein bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawi. Tafsir al-Baghawi ini adalah bekal untuk menyelami lautan makna Kalamullah. Para imam Bani Alawi sangat menganjurkan para penuntut ilmu agar membaca tafsir al-Baghawi tersebut.

Jika memungkinkan, sempatkanlah diri mempelajari kitab-kitab adab seperti nahwu, lughot dan selainnya. Janganlah enggan membaca dan menelaahi kitab Maqaamaatul Hariri setelah mempelajarinya dan mendapatkan penjelasan dari seorang guru yang kompeten. Kitab tersebut menjadi referensi para salaf. Syaikh Ahmad bin ‘Ujail berkata, “Maqamatul Hariri adalah sepiring manisan. Kami telah mengambil manfaat yang sangat besar darinya.”

Bacalah pula karya al-Hariri yang lain, kitab al-Malhah. Sebagian ulama meyakini bahwa al-Hariri menyimpan sir-nya dalam kitab tersebut. Kitab ini disyarahi oleh Syaikh Abubakar bin Ali al-Qurasyi. Dan kitab mughni al-labib, karya Syaikh Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Hisyam al-Anshori. Kitab mughni al-labib ini adalah kitab yang mengandung ilmu pengetahuan yang luas.

Dalam bidang sirah, bacalah kitab al-Iktifa’ karya al-Kula’i dan sirah karya Ibnu Sayid an-Nas.

Dalam bidang tarikh, bacalah kitab Mir’atul Janan wa ‘Ibratal Yaqdhan, karya Imam Abu Muhammad Abdullah bin As’ad bin Ali al-Yafi’i. dan kitab al-Khamis karya Imam Abul Hasan al-Bakrie dan kitab Thabaqat al-khawwas karya as-Syarji.

Dalam bidang hadits, bacalah kitab Shahih Bukhori dan Muslim, Sunan Abu Dawud, Turmudzi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Jami’ as-Shaghir karya  Imam as-Suyuti dan kitab Taisiirul Wusul karya ad-Diba’i al-Yamani.

Untuk mengetahui hak-haknya Nabi Saw, bacalah kitab as-Syifa’ karya al-Qhadi ‘Iyadh. Sedangkan untuk mengetahui hak-hak keluarga Nabi Saw, bacalah kitab al-Iqdun Nabawi karya Habib Syaikh bin Abdullah al-‘Aydrus, kitab al-Jawharus Saffaf karya Syaikh al-Khatib, kitab al-Masra’ur Rawi karya sayid Muhammad bin Abubakar as-Syilli, dan kitab al-‘Ainiyah karya Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.

Selain kitab-kitab yang telah disebutkan, bacalah juga kumpulan-kumpulan kasidah yang dilazimi oleh para salaf. Diantaranya kasidah al-Hamaziyah dan Burdah karya Imam al-Bushiri beserta syarahnya yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Hajar dan Imam al-Mahalli. Dan tatkala kalian mendapatkan permasalahan atau hujan yang tak kunjung diturunkan, bacalah kasidah al-Munfarijah karya Imam al-Bushiri. Maka dengan seizin Allah, segala permasalahan kalian akan mendapatkan jalan keluar dan hujan akan diturunkan.

Janganlah kalian menuntut ilmu kepada sembarangan orang. Akan tetapi carilah seorang guru (syaikh) yang memenuhi tujuh kriteria. Pertama, ilmu pengetahuannya luas. Kedua, sikapnya arif dan rendah hati. Ketiga, memiliki pemahaman yang dalam. Keempat, akhlak dan nasabnya mulia. Kelima, memiliki mata hati yang tajam. Keenam, berhati baik dan riwayat hidupnya baik. Ketujuh, memiliki mata rantai keilmuwan yang bersambung kepada rasulullah s.a.w. dan apabila ada seorang sayid (cucu nabi Saw) memenuhi tujuh kriteria tersebut , maka ia adalah seorang guru yang sempurna. Rasulullah s.a.w bersabda, “Ulama dari golongan Quraiys, ilmunya memenuhi seluruh penjuru bumi.”

Jika kalian mendapatkan seorang guru yang memenuhi kriteria di atas, maka serahkanlah diri kalian kepadanya, sandarkan semua urusan-urusanmu yang penting pada keputusannya, bersikaplah tawadhu kepadanya, jadikanlah ia sebagai perantara kalian untuk sampai kepada Allah, ambillah ijazah riwayat ilmu secara menyeluruh darinya, dapatkanlah ilbas khirqah dan talqin kalimat la ilaaha illallah darinya, ketahui dan penuhilah hak-haknya seperti yang tersebut dalam kitab Ihya’ ulumiddin karya Imam al-Ghozali dan kitab at-Tibyan karya Imam an-Nawawi.

Dan sudah sepantasnya apabila kalian menghormati guru kalian melebihi ulama-ulama yang lain. Dan janganlah sesekali menentang keputusan gurumu dalam setiap persoalan baik yang dhahir maupun yang bathin, agar kalian sampai ke tujuan. Abdullah bin Abbas berkata, “Aku menghinakan diri sewaktu menuntut ilmu, dan diriku menjadi mulia setelah meraihnya.” Bahkan ia tak malu mencium telapak kaki gurunya, Zaid bin Tsabit al-Khazraji.

Diceritakan pula bahwa kedua putera kesayangan Harun ar-Rasyid, al-Amin dan al-Makmun saling berebutan memasangkan sandal guru mereka, al-Kasa’i. sampai-sampai al-Kasa’i menengahi mereka dengan memberikan jalan keluar, yaitu masing-masing memasangkan satu sandal.

Dan janganlah lupa, apabila kalian telah mendapatkan ilmu, maka amalkanlah semampu kalian, disertai selalu memohon pertolongan kepada Allah Swt. “
0 comments

Istiqomah, itulah kuncinya!

Pencetak para quthb. Barangkali demikianlah gelar yang pantas disematkan kepada Al-Habib Umar bin Segaf Assegaf. Bayangkan saja, dengan tangan dinginnya Al-Habib Umar bin Segaf berhasil mendidik dan mencetak ulama-ulama besar dan bahkan para wali quthb. Diantaranya adalah Al-Habib Hasan bin Sholeh Albahr, Al-Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith dan Al-Habib Mumammad bin Abdullah bin Qithban.

Berikut adalah wasiat yang ia tulis untuk kedua muridnya yang notabene masih kakak beradik yang pernah “mondok” kepadanya, yaitu Al-Habib Thahir dan Al-Habib Abdullah bin Husein bin Thahir.

Sesungguhnya seseorang akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar di dunia dan akhirat apabila ia melakukan tiga hal. Pertama, menghindari pergaulan dengan orang-orang yang tidak berilmu. Kedua, meninggalkan majelis-majelis yang tidak bermanfaat dan cenderung membuang waktu dengan percuma. Ketiga, tidak terpengaruh dan terbawa dengan gaya hidup orang-orang zaman sekarang yang telah meninggalkan Al-Qur’an.

Maka, mengasingkan diri (uzlah) dari pergaulan awam adalah solusi yang paling tepat bagi siapa saja yang ingin selamat dari kerusakan zaman, disertai dengan niat yang baik dan ikhlas.

Sesungguhnya membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan khusuk dan tadabbur (menghayati maknanya) sambil menggali rahasia-rahasianya yang penuh dengan cahaya ilmu pengetahuan adalah hiburan yang hakiki disamping sebagai simpanan pahala yang melimpah tentunya. Demikian juga dengan mempelajari hadits-hadits Nabi SAW serta kalam-kalam para ulama salaf yang telah sampai pada maqam “yaqin”. Semua itu akan mempertebal iman kita dan menghapus segala keraguan, prasangka-prasangka buruk dan kebimbangan kita akan kebenaran Allah, serta akan mengantarkan kita untuk lebih dekat kepada Allah SWT.

Setiap umat Islam diwajibkan menuntut ilmu dalam situasi dan kondisi apapun. Adapun mengajarkan ilmu dan berdakwah, itu hanya diwajibkan kepada orang-orang yang telah berkompeten segi keilmuannya dan sesuai kapasitasnya masing-masing. Dan mereka akan mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar dengan syarat mereka harus melakukan empat hal. Pertama, selalu berusaha untuk ikhlas demi Allah. Kedua, menghormati orang yang belajar kepadanya dan beranggapan bahwa ia merupakan karunia dan amanat dari Allah SWT. Ketiga, senantiasa mensyukuri ilmunya sebagai nikmat istimewa yang dikaruniakan kepadanya. Keempat, selalu berharap kepada Allah agar “profesi”-nya sebagai pengajar kelak menjadi bukti kebaikannya dan menyebabkan ia mendapatkan ridho-Nya.

Sesungguhnya seseorang yang menghiasi lahiriyahnya dengan taqwa dan meneguhkan hatinya dengan sidq (iman yang kokoh) kepada Allah, kemudian ia selamat dari sikap ujub (bangga diri atas semua amalnya) dan membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran nafsu, maka niscaya ia akan berhasil sampai ke tujuan, yakni memperoleh segala kemurahan Allah. Dan ketahuilah, tingkatan tersebut pada hakekatnya takkan mampu diraih seorang pun kecuali dengan kemurahan dan taufik Allah SWT. Adapun manusia harus berdoa dan berusaha dengan memperbanyak sholat, bacaan Al-Qur’an, istighfar serta dzikir-dzikir yang lain disertai rasa takut (khosyah) dan pengagungan (ta’dhim).

Maka bertaqwalah kepada Allah baik dikala kamu sendirian maupun diantara khalayak ramai. Amalkanlah semua ajaran yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an, hadits-hadits nabi SAW serta kitab-kitab para salaf soleh. Dan beristiqomahlah di dalam berusaha mendapatkan ridho Allah. Ambil dan kerjakanlah amalan-amalan kesunnahan nabi yang sekiranya nantinya kamu mampu untuk beristiqomah mengerjakannya, disertai dengan niat ikhlas, kehadiran hati dan prasangka baik.

Sesungguhnya Nur Ilahi akan kita dapatkan apabila kita beristiqomah membaca Al-Qur’an disertai sikap hormat dan adab yang baik, menghayati makna-maknanya, dan merasakan kehadiran Allah di hadapan kita. Bacalah wirid-wirid yang sekiranya kamu mampu beristiqomah membacanya. Seperti hizb Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, hizb imam Nawawi,  dan hizb Albahr. Perbanyaklah melantunkan shalawat kepada nabi besar SAW serta mengucapkan istighfar.

Sesungguhnya sumber dari segala kebaikan adalah prasangka baik kepada Allah SWT dan makhluk-Nya. Maka berinteraksilah dengan makhluk Allah dengan akhlak yang baik. Berikan semua hak-hak mereka tanpa ada perasaan terpaksa. Sesungguhnya masing-masing dari mereka telah mendapatkan keistimewaan dari Allah SWT. Dan sumber dari segala kesialan adalah kebodohan. Maka bersyukurlah kepada Allah apabila kita dikeluarkan dari jurang kebodohan. namun janganlah menganggap diri kita lebih pintar dari siapa saja. Karena sesungguhnya Allah akan merahmati hamba-hamba-Nya yang taat dengan rahmat-Nya


Sesungguhnya urusan dunia dan akhiratmu tergantung baik tidaknya agamamu. Maka ambillah sedikit saja dari dunia dengan niat yang baik, niscaya itu akan membantumu untuk sampai kepada Allah. Berdakwahlah dan ajaklah manusia menuju jalan Allah dengan sikap bijak dan ucapan-ucapan yang bagus ( kalimat ini adalah izin dan perintah dari Al-Habib Umar kepada Al-Habib Thahir dan Al-Habib Abdullah untuk menyebarkan ilmu dan berdakwah). Mintalah kepada Allah agar selalu mendapatkan hidayah. Sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang ia kehendaki.
0 comments

Tanda-Tanda Diterimanya Amalan di Bulan Ramadhan


Berkata Tuanku Guru Mulia Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Hafidzahullah


Barangsiapa yang Sebelum Ramadhan suka tidur setelah Subuh, Maka sekarang ia tidak lagi suka tidur setelah subuh, melainkan Berdzikir kepada Allah sampai Matahari terbit.



Barangsiapa yang sebelum Ramadhan tidak Bangun malam untuk beribadah, maka setelah Ramadhan ia menjadi orang yang suka menghidupkan malam.

Barangsiapa yang sebelum ramadhan tidak mengindahkan Shalat berjemaah, maka setelah Ramadhan ia selalu menjaga shalat Berjamaah

Barangsiapa yang sebelum Ramadhan Tidak menyukai Ilmu dan ulama' Maka setelah Ramadhan ia menjadi Orang yang suka Kepada Ilmu dan Ulama'

Barangsiapa yang sebelum ramadhan tidak mengindahkan Shalat Duha dan Shalat witir, dan Shalat sunnah Rawatib, maka setelah Ramadhan ia senantiasa menjaga untuk melakukan Shalat-sahalat tersebut

Barangsiapa yang seeblum Ramadhan suka melihat Perkara-perkara Haram maka setelah Ramadhan ia menjadi Orang yang Takut kepada Allah, dan memelihara Pandangan nya.

Barangsiapa yang sebelum ramadan suka mengunjing, maka setelah ramadhan ia tidak melakukan nya lagi.

Barangsiapa yang sebelum Ramadhan suka Durhaka kepada kedua Orang tua nya, maka setelah Ramadhan ia menjadi orang yang berbuat kebajikan kepada kedua orang tua nya, melayani dengan hak-hak nya.

Barangsiapa yang sebelum Ramadhan suka memutuskan talian keluarga, maka setelah Ramadhan ia menjadi orang yang menjalin Siltarrahim kepada sanak kerabat,

Beginilah dalam Hal kebaikan ia menjadi lebih baik,
Inilah tanda-tanda di terima nya Amalan Ibadah di bulan ramadhan, dan Tanda-tanda di bebaskan nya dari api neraka.
Adapun jika yang terjadi malah sebalik nya,- Wal iyadzu billah- maka ia menjadi orang yang terhalang dari kebaikan, Rugi, sebab segala sesuatu tidak naik meningkat, maka ia telah mensia-siakan Umur nya secara cuma-cuma. sebagai Gantinya ia tidak maju kedepan, melainkan malah Mundur ke belakang.

Sebagaimana Yang telah di katakan Oleh Ulama' :

Barang siapa yang menginginkan kemajuan maka majulah. Barangsiapa yang menginginkan kemunduran, maka Mundurlah
Habib Zein bin Smith

0 comments

Asal Usul Para Habaib di Nusantara

Menurut Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bangsa Arab terbagi menjadi tiga golongan : al-Ba’idah yaitu bangsa Arab terdahulu dan kabar berita tentang mereka telah terputus karena sudah terlalu lama, al-’Aribah yaitu orang-orang Arab Yaman keturunan Qahthan, al-Musta’ribah yaitu keturunan Nabi Ismail as (Adnaniyah).[1] Karena golongan yang pertama sudah tidak ada lagi maka para ahli sejarah hanya mengkaji golongan yang kedua dan ketiga, yaitu bani Qahthan dan bani Ismail. Bani Ismail as adalah keturunan dari Nabi Ismail as anak Nabi Ibrahim as yang mula-mula berdiam di kota Ur yang merupakan kota di Babylonia. Nabi Ibrahim as meninggalkan kota Ur dan berpindah ke Palestina. Setelah Nabi Ibrahim as mempunyai anak dari Siti Hajar yang bernama Ismail as, mereka pindah ke Hijaz tepatnya di Wadi Mekkah.

Unknown Object
Nabi Ismail as mempunyai putera sebanyak dua belas orang, masing-masing mempunyai keturunan. Tetapi kemudian keturunan mereka terputus, hanya keturunan Adnan-lah yang berkembang biak, sebab itu bani Ismail ini dinamai juga bani Adnan. Sedangkan Bani Qahthan menurunkan suku Tajib dan Sodaf. Bani Qahthan berasal dari Mesopotamia dan kemudian pindah ke negeri Yaman. Penduduk asli Yaman adalah kaum ‘Ad yang kepada mereka diutus Nabi Hud as. Mereka dibinasakan oleh Allah swt dengan menurunkan angin yang amat keras. Kaum ‘Ad yang dibinasakan ini disebut kaum ‘Ad pertama, sedangkan kaum ‘Ad yang masih mengikuti Nabi Hud as disebut kaum ‘Ad kedua.

Sesudah Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah di Mekkah, jadilah kota Mekkah itu kota yang paling masyhur di tanah Hijaz, dan berdatanganlah orang dari segenap penjuru jazirah Arab ke Mekkah untuk naik haji dan ziarah ke Baitullah. Karena itu lama kelamaan kota Mekkah menjadi pusat perniagaan.

Pertama kali kota Mekkah dipegang oleh bani Adnan, karena itu bani Adnanlah yang memelihara dan menjaga Ka’bah. Sesudah runtuhnya kerajaan Sabaiah, maka berpindahlah satu suku yang bernama Khuza’ah dari Yaman ke Mekkah dan mereka merampas kota Mekkah dari tangan bani Adnan. Dengan demikian berpindahlah penjagaan Baitullah dari bani Adnan kepada bani Khuza’ah.

Di kemudian hari, dari suku Quraisy terdapat seorang pemimpin yang kuat dan cerdas, namanya Qushai. Qushai ini beruntung dapat merebut kunci Ka’bah dari bani Khuza’ah dan kemudian mengusir bani Khuza’ah itu dari Mekkah. Maka jatuhlah kembali kekuasaan di Mekkah ke tangan bani Adnan. Kemudian Qushai diangkat menjadi raja yang di tangannya terhimpun kekuasaan keagamaan dan keduniaan. Sesudah Qushai meninggal kekuasaan tersebut dipegang oleh keturunannya yang bernama Abdi Manaf.

Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim.[2] Hasyim adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaranya muncul Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah saw pernah bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah memilih Isma’il dari anak keturunan Ibrahim, memilih Kinanah dari anak keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim. “.(H.R. Muslim dan at-Turmudzy).

Dari al-’Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa kabilah, lalu menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan sebaik-baik keluarga diantara mereka”. (Diriwayatkan oleh at-Turmudzy).

Dari keturunan inilah Allah swt telah menerbitkan cahaya cemerlang, menerangi semesta alam, dikarenakan agama Islam yang dibawa keturunan Adnan kepada masyarakat Hadramaut yang berasal dari keturunan Qahthan. Diantara keturunan Adnan yang berada di Hadramaut adalah kaum Alawiyin, sebelumnya mereka menetap di Basrah, Iraq.

Tokoh pertama golongan Alawi di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa yang dijuluki al-Muhajir.[3] Kepindahannya ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka. Akibat dari kepemimpinan yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat pemerintahan di Bagdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang ‘alim‘amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara’ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Di Iraq beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Mereka hijrah ke Hadramaut bukan karena dimusuhi atau dikejar-kejar tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan aqidah keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadramaut mengikuti kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.

Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalah al-Muawanah mengatakan : Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja’far Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.

Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin ‘Ali al-‘Uraidhy, bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy. Turut pula dua anak lelaki dari paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan rombongan yang terdiri dari 70 orang. Imam al-Muhajir membawa sebagian dari harta kekayaannya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain ditinggalkan menetap di Iraq.[4]

Tibalah Imam al-Muhajir di Madinah al-Munawwarah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada tahun itulah kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan menguasainya. Mereka meletakkan pedang di al-Hajij dan memindahkan Hajarul-Aswad dari tempatnya ke tempat lain yang dirahasiakan. Pada tahun berikutnya al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau meninggalkan anak pamannya yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman, datuk kaum Sayyid al-Ahdal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju Hadramaut dan menetap di Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut atas dasar pengarahan dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan, setelah beliau hijrah ke negeri itu di sana memancar cahaya terang sesudah beberapa lama gelap gulita. Penduduk Yaman khususnya Hadramaut yang mengaku penduduk asli dari keturunan Qahthan, yang awalnya bodoh dan sesat berubah menjadi mengenal ilmu dan berjalan di atas syariat Islam yang sebenarnya. Imam al-Muhajir dan keturunannya berhasil menundukkan masyarakat Hadramaut yang mempunyai faham Khawarij dengan dalil dan argumentasi.

Maka masuklah Imam al-Muhajir ke Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam da’wahnya dan menempuh cara yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka banyak orang-orang Khawarij yang datang kepadanya dan taubat di tangannya setelah mereka berusaha menentang dan mencacinya. Ia juga menolong qabilah al-Masyaikh al-Afif. Dan bergabung juga dengannya qabilah Kindah dan Madij. Mereka meninggalkan madzhab Ibadhiy dan bercampur dengan orang-orang yang datang dari Iraq.[5]

Kaum Khawarij tidak mengakui atau mengingkari Imam al-Muhajir berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw. Untuk memantapkan kepastian nasabnya sebagai keturunan Rasulullah saw, sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi berangkat ke Iraq. Di sanalah ia beroleh kesaksian lebih dari seratus orang terpercaya dari mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang mantap ini lebih dimantapkan lagi di Makkah dan beroleh kesaksian dari rombongan haji Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita tentang kesaksian itu ke Hadramaut.

Dan diantara ulama ahli nasab dan sejarah yang telah memberikan perhatiannya terhadap kebenaran nasab keturunan al-Imam al-Muhajir dan silsilah mereka yang mulia, ialah : pertama, al-Allamah Abu Nash Sahal bin Abdullah al-Bukhori dalam kitabnya Sirru al-Silsilah al-Alawiyah tahun 341hijriyah. Kedua, al-Nasabah Abu Hasan Najmuddin Ali bin Abi al-Ghonaim Muhammad bin Ali al-Amiri al-Bashri, wafat tahun 443. Di antara kitabnya adalah al-Majdi wa al-Mabsuth wa al-MusajjarKetiga, al-Allamah Muhammad bin Ja’far al-Ubaidili dalam kitabnya Tahdzib al-Ansab, wafat tahun 435 hijriyah. Keempat, al-Allamah al-Yamani Abu al-Abbas al-Syarajji dalam kitabnya Thabaqat al-Khawash Ahl al-Shidqi wa al-Ikhlas. Di dalamnya disebutkan mengenai hijrahnya Saadah keluarga al-Ahdal dan Bani Qudaimi, disebutkan awal pertama mereka tinggal di daerah Wadi Saham, Wadi Surdud, dan Hadramaut.

Dan terdapat pula dari beberapa ulama nasab yang mempunyai catatan-catatan ringkas mengenai nasab keturunan Rasulullah yang mulia ialah al-Imam al-Nasabah al-Murtadho al-Zubaidi dan al-Nasabah Ibnu Anbah pengarang kitab Umdah al-Thalib. Selain mereka banyak pula yang mengadakan penelitian tentang nasab keturunan Rasulullah saw yang mulia, hasilnya mereka mendapatkan kebenaran yang tidak diragukan lagi, sebagaimana hukum syar’i yang telah menjelaskan masalah interaksi sosial dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan keberadaan mereka dalam bentuk dalil-dalil yang kuat yang menjelaskan kemuliaan nasab mereka, serta kepemimpinan mereka di wilayah Arab, Hindi, Turki, Afrika Timur, Asia, semuanya merupakan dalil yang kuat tentang keberadaan mereka.

Di antara peneliti tersebut ialah al-Khazraji, al-Yafi’, al-Awaji, Ibnu Abi al-Hub, al-Sakhowi, Abu Fadhol, Abu Ubbad, Ibnu Isa al-Tarimi, al-Junaid, Ibnu Abi al-Hissan, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Samuroh, Ibnu Kabban, Bamahramah, Ibnu Fahd, Ibnu Aqilah, al-Marwani al-Tarimi, dan lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya ‘al-Imam al-Muhajir’. Terakhir, nasab keturunan Rasulullah saw dibahas oleh Sayid Abdullah bin Hasan Bilfaqih dalam kitab Tafnid al-Maza’im, Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab al-Qaul al-Fashlu dan al-Syamil fi Tarikh Hadramut, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf dalam kitab Badhoi’ al-Tabut.[6]

Dengan demikian mantaplah sudah pengakuan masyarakat luas mengenai keutamaan para kaum ahlul-bait sebagai keturunan Rasulullah saw melalui puteri beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw bersabda :

‘Setiap putra ibu akan bergabung nasabnya kepada ashabahnya (pihak ayah), kecuali anak-anak Fathimah, Akulah wali mereka dan akulah ashabah mereka’.[7]

Al-allamah Yusuf bin Ismail al-Nabhany dalam bukunya Riyadhul Jannah mengatakan : ‘Kaum Sayyid Baalawi oleh umat Muhammad saw sepanjang zaman dan di semua negeri telah diakui bulat sebagai ahlul-bait nubuwah yang sah, baik ditilik dari sudut keturunan maupun kekerabatan, dan mereka itu adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya’.[8]

Ahmad bin Isa wafat di Husaisah pada tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi, Jadid dan Ismail (Bashriy). Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 6 H keturunan Ismail (salah satu keturunannya ialah Syekh Salim Bin Bashriy) dan Jadid (salah satu keturunannya ialah al-Imam Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid) punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap lestari. Mereka menamakan diri dengan nama sesepuhnya Alwi, yang kemudian dikenal dengan kaum Sayyid Alawiyin.

Kita dapat menyaksikan bahwa sekarang anak cucu dan keturunan Imam Ahmad bin Isa menyebar di berbagai pelosok Hadramaut, dan di daerah pesisir lautan Hindia, seperti Asia Tenggara, India dan Afrika Timur. Para da’i dan ulama-ulama mereka mempunyai peranan yang besar di tanah air mereka yang baru. Karena itu para penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya memuliakan mereka karena karya mereka yang baik dan agung.
Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Lalu syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo[9]. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh.

Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab[10] telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.

Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama sekali.

Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep.. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso.

Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya.

[1] Jilid 1, hal. 25

[2] Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi. Jamharoh Ansab al-Arab, hal. 14.

[3] Para ahli sejarah sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada al-Imam Ahmad bin Isa sejak hijrahnya dari negeri Iraq ke daerah Hadramaut, hanya al-Imam al-Muhajir yang khusus menerima gelar tersebut meskipun banyak pula orang-orang dari kalangan ahlul bait dan dari keluarga pamannya yang berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan berbagai macam gerakan yang timbul.

[4] Idrus Alwi Al-Masyhur, Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi, hal. 15.

[5] Muhammad Hasan Alaydrus, Penyebaran Islam di AsiaTenggara, hal 22.

[6] Abubakar Al-Adeni Bin Ali Al-Masyhur, Al-Abniyah al-Fikriyah, hal. 25.

[7] Jalaluddin Al-Suyuthi, Ihya al-Mait Fi Fadhail Ahlu al-Bait, hal. 42.

[8] Idrus Alwi Al-Masyhur, op cit, Hal. 15.

[9] Muhammad Hasan Alaydrus, op cit, hal. 35.

[10] Beliau adalah salah satu pendiri Rabithah Alawiyah dan menjadi ketua yang pertama.
Oleh: benmashoor
0 comments
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Habaib - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger