Nasab Al-habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad
Habib
Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin
Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin
Muhammad bin Abdullah bin Al Faqih Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi 'Ammil
Faqih bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina
Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad
Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina
Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad
bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad
An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam
Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina
Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul
Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.
Beliau
dilahirkan pada malam senin 5 Shafar 1044 H / 1624 M di Subair, di
pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Pada tahun kelahirannya, terjadi
beberapa peristiwa, yaitu Wafat Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin
Salim dan Sayyid Yusuf bin Al-Fasi ( murid Syekh Abu Bakar bin Salim )
dan terbunuhnya Sayyid Ba Jabhaban.
Kedua Orang Tua Beliau
Sayyid
Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal
sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy,
sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal
sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin
Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek
Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba
Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna. Suatu
hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah
Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum
berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu
Syaikh Ahmad berkata kepadanya, ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka
ada keberkahan”. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy,
Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah
saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana
Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin
Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud
Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy
Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya
tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy
terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat
pada dirinya tanda-tanda sinar Al-Wilayah ( Kewaliyan ).
Masa kecil Beliau
Ketika
Habib Abdullah berusia 4 tahun, beliau terserang penyakit cacar.
Demikian hebat penyakit itu, hingga hilanglah penglihatan beliau. Namun
musibah ini sama sekali tidak mengurangi kegigihannya dalam menuntut
ilmu. Beliau berhasil menghafal Al Qur’an dan menguasai berbagai ilmu
agama ketika masih kanak-kanak. Beliau sejak kecil gemar beribadah da
riyadhoh. Nenek dan kedua orang tuanya sering kali tidak tega
menyaksikan anaknya yang buta ini melakukan berbagai ibadah dan
riyadhoh. Mereka menasehati agar beliau berhenti menyiksa diri. Demi
menjaga perasaan keluarganya, si kecil Abdullah pun mengurangi ibadah
dan riyadhoh yang sesunguhnya amat beliau gemari.
Di masa
mudanya beliau berperawakan tinggi, berdada bidang, berkulit putih,
berwibawa dan di wajahnya tidak tampak bekas-bekas cacar yang dahulu
menyebabkan beliau kehilangan penglihatannya.
Guru-guru Habib Abdullah bin alwi Al Haddad
1.
Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrohman Al-Aththos bin Aqil bin
Salim bin Abdullah bin Abdurrohman bin Abdullah bin Abdurrohman
Asseqaff,
2. Al-Allamah Al-Habib Aqil bin Abdurrohman bin
Muhammad bin Ali bin Aqil bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin Syaikh bin
Abdurrohman Asseqaff,
3. Al-Allamah Al-Habib Abdurrohman bin Syekh Maula Aidid Ba’Alawy,
4. Al-Allamah Al-Habib Sahl bin Ahmad Bahasan Al-Hudaily Ba’Alawy
5. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad bin Alwy bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Abdurrohman Asseqaff
6. Syaikh Al-Habib Abu Bakar bin Imam Abdurrohman bin Ali bin Abu Bakar bin Syaikh Abdurrahman Asseqaff
7. Sayyid Syaikhon bin Imam Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
8. Al-Habib Syihabuddin Ahmad bin Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
9.
Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin Muhammad bin Abdurrohman bin
Muhammad bin Syaikh Al-Arif Billah Ahmad bin Quthbil Aqthob Husein bin
Syaikh Al-Quthb Al-Robbani Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus
10. Syaikh Al-Faqih Al-Sufi Abdullah bin Ahmad Ba Alawy Al-Asqo
11. Sayyidi Syaikh Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Qusyasyi
Murid-murid Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad
1. Habib Hasan bin Abdullah Al Haddad ( putra beliau )
2. Habin Ahmad bin Zein Al Habsyi
3. Habib Abdurrahman bin Abdullah BilFaqih
4. Habib Muhammad bin Zein bin Smith
5. Habib Umar bin Zein bin Smith
6. Habib Umar bin Abdullah Al Bar
7. Habib Ali bin Abdullah bin Abdurrahnan As Segaf
8. Habib Muhammad bin Umar bin Toha Ash Ahafi As Segaf
9. dll.
Suatu hari beliau berkata :
”Dahulu orang menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang menuntut ilmu dariku “.
Keaktifannya dalam mendidik dan berdakwah membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyad.
Beliau berpesan :
“Ajaklah
orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat; ajaklah ahli syariat
kepada tarekat ( thariqah ) dengan bahasa tarekat; ajaklah ahli tarekat
kepada hakikat ( haqiqah ) dengan bahasa hakikat, ajaklah ahli hakikat
kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah ahlul Haq kepada Al-Haq
dengan bahasa Al-Haq.”
Ibadah Beliau
Pada
masa Bidayahnya ( permulaannya ); setiap malam beliau mengunjungi
seluruh masjid di kota Tarim untuk beribadah. Telah lebih 30 tahun
lamanya beliau beribadah sepanjang malam. Ketika beliau berada di
Bidayahnya, Al-Faqih Abdullah binAbu Bakar Al-Khotib, salah seorang guru
Fiqih beliau, berkata :
”Aku bersaksi bahwa Syyidi Abdullah Al Haddad berada di Maqom Sayyid ath-Thoifah Junaid.”
Ratib Al Haddad dan Wirdul Lathif
ketika
beliau berusia 27 tahun, beberapa orang ( Syi’ah ) Zaidiyyah masuk ke
Yaman. Para Ulama khawatir akidah masyarakat akan rusak karena pengaruh
ajaran para pendatang syi’ah itu. Mereka lalu meminta beliau untuk
merumuskan sebuah doa’ yang dapat mengokohkan akidah masyarakat dan
menyelamatkan mereka dari faham-faham sesat. Beliau memenuhui permintaan
mereka lalu menyusun sebuah doa’ yang akhirnya dikenal dengan nama Ratb
Al Haddad. Disamping itu beliau juga merumuskan bacaan dzikir yang
dinamainya Wirid al-Lathif. Ketika berusia 28 tahun, ayah beliau
meninggal dunia dan tak lama kemudian ibunya menyusul.
Keluhuran Budi Beliau
Dalam kehidupannya, beliau juga mendapat gangguan dari masyarakat lingkungannya, Beliau berkata :
Kebanyakan
orang, jika tertimpa musibah penyakit atau lainnya, mereka tabah dan
sabar; mereka sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar Allah SWT. Tetapi
jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa bahwa
gangguan-gangguan itu sebenarnya juga qodho dan qodar Allah SWT, mereka
lupa bahwa sesungguhnya Allah SWT hendak menguji dan menyucikan jiwa
mereka.
Rasulullah bersabda :
“Besarnya
pahala tergantung pada beratnya ujian. Jika Allah SWT mencintai suatu
kaum, ia akan menguji mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh
keridhoannya; barang siapa tidak ridho, Allah SWT akan murka kepadanya.”
( HR Thabrani dan Ibnu Majah )
Habib Abdullah
juga menjadikan Ratib Al-Atthas karya gurunya, Habib Umar bin
Abdurrahman Al-Atthas sebagai rujukan. Ketika seseorang datang minta
ijazah atau izin mengamalkan Ratib Al-Haddad; beliau berkata :
“Bacalah Ratib Guruku, kemudian baru Ratibku”
Ini merupakan cermin bagaimana seorang murid menghormati gurunya, meski karyanyalah yang lebih populer.
Habib
Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila beliau
terpaksa harus bersikap tegas, beliau kemudian segera menghibur dan
memberikan hadiah kepada orang yang ditegurnya. Beliau berkata :
”Aku tak pernah melewatkan pagi dan sore dalam keadaan benci dan iri pada seseorang!”
Dalam mengarungi bahtera kehidupan, beliau lebih suka berpegang pada hadits Rasulullah SAW :
”Orang
beriman yang bergaul dengan masyarakat dan sabar menanggung
gangguannya, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan
masyarakat dan tidak pula sabar menghadapi gangguannya.” ( HR Ibnu Majah
dan Ahmad )
Dalam kesempatan lain beliau berkata :
“Sesungguhnya
aku tidak ingin bercakap-cakap dengan masyarakat, aku juga tidak
menyukai pembicaraan mereka, dan tidak peduli kepada siapapun dari
mereka. Sudah menjadi tabiat dan watakku bahwa aku tidak menyukai
kemegahan dan kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di gurun sahara.
Itulah keinginanku; itulah yang kudambakan. Namun, aku menahan diri
tidak melaksanakan keinginanku agar masyarakat dapat mengambil manfaat
dariku.”
Beliau menulis dalam sya’irnya :
Bila Allah SWT mengujimu, bersabarlah
karena itu haknya atas dirimu.
Dan bila ia memberimu nikmat, bersyukurlah.
Siapapun mengenal dunia, pasti akan yakin
bahwa dunia tak syak lagi
adalah tempat kesengsaraan dan kesulitan.
Beliau tidak pernah bergantung pada mahluk dan selalu mencukupkan diri hanya kepada Allah SWT. Beliau berkata :
“Dalam
segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan karunia
Allah SWT. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanannya.”
“Aku
tidak pernah melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah SWT.
Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan
kedudukannya di sisiku, karena aku mrnganggap orang itu hanyalah
perantara saja,”
Beliau sangat menyayangi kaum faqir miskin,
“Andaikan
aku kuasa dan mampu, tentu akan kupenuhi kebutuhan semua kaum faqir
miskin. Sebab pada awalnya, agama ini ditegakkan oleh kaum Mukminin yang
lemah.” “Dengan sesuap makanan tertolaklah bencana.”
Karya-karya Beliau
1. An Nashoihud Diniyyah wal Washoyal Imaniyyah
2. Ad Da’watut Tammah wat Tadzkiratul ‘Ammah
3. Risalatul Mu’awanah wal Muzhoharah wal Muazaroh
4. Al Fushul ‘Ilmiyyah
5. Sabilul Iddikar
6. Risalatul Mudzakaroh
7. Risalatu Adabi sulukil Murid
8. Kitabul Hikam
9. An Nafaisul ‘Uluwiyah
10. Ithafus Sail Bijawabil Masail
11. Tatsbitul Fuad
12.
Risalah Shalawat ; diantaranya Shalawat Thibbil Qulub ( Allahumma
shalli ‘ala sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wadawa-iha, wa’afiyati
abdani wa syifa-iha, wanuril abshari wadliya-iha, wa’ala alihi
washahbihi wasalim.)
13. Ad-Durul Mandzum (kumpulan puisi )
14. Diwan Al-Haddad (kumpulan puisi )
Karya-karya
beliau sarat dengan inti sari ilmu syari’at, adab islami dan tarekat,
penjabaran ilmu hakikat, menggunakan ibarat yang jelas dan tata bahasa
yang memikat. Semuanya ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Berisi
ajaran tasawuf murni. Beliau berkata :
“Aku
mencoba menyusunnya dengan ungkapan yang mudah, supaya dekat dengan
pemahaman masyarakat, lalu kugunakan kata-kata yang ringan, supaya
segera dapat dipahami dan mudah dimengerti oleh kaum khusus maupun
awam.”
Seluruh tulisannya sarat dengan ajaran
islam ( tauhid, syari’at, akhlaq, tarekat ) semuanya tersaji bercirikan
tasawuf. Dalam Ad-Durrul Mandzum, misalnya beliau menulis :
“Dalam
bait-bait yang aku tulis ini, terdapat berbagai ilmu yang tidak yang
tidak ada dalam kitab lainnya. Maka barang siapa membacanya secara
rutin, lalu berpegang teguh kepadanya, cukup sudah baginya.”
Ada
keyakinan di kalangan sebagian kaum muslimin, membaca karya Habib
Abdullah bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu keselamatan, bukan hanya
bagi pembacanya, melainkan juga masyarakat sekitarnya.
Sebagai Mujaddid Abad ke 11 H.
Penganut
Mazhab Syafi’i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib Abdullah
bin Alwi Al Haddad adalah Mujaddid ( pembaharu )abad 11 H. pendapat ini
diutarakan oleh Ibnu Ziyad, seorang Ahli Fiqih terkemuka di Yaman yang
fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh Fiqih seperti Imam Ibnu
Hajar dan Imam Ramli.
Seseorang pernah menggambarkan kedudukan beliau dengan ungkapan yang indah,yaitu:
”Dalam
Dunia Tasawuf Imam Ghazali ibarat pemintal kain, Imam Sya’rani ibarat
tukang potong dan Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah
penjahitnya.”
Beberapa Ulama memberinya beberapa gelar, seperti :
• Syaikhul Islam ( Rujukan utama keislaman )
• Fardul A’lam ( Orang teralim )
• Al-Quthbul Ghauts ( Wali tertinggi yang bisa menjadi wasilah pertolongan )
• Al-Quthbud Da’wah wal-Irsyad ( Wali Tertinggi yang memimpin Dakwah )
Pendapat Ulama tentang Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Al-Arifbillah
Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-Athos ra.
mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan
baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya
saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat dizaman ini ( abad
12 H ).
Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin
Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad
adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy"
Al-Imam Arifbillah
Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan
Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai
hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah
SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun
kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal
ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak
mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan
Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada
beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.”
Al-Imam
Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-Habib
Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa
masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka'at
kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib
Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah ( fath ) dari allah swt sejak
masa kecilnya".
Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin
Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun
min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).
Al-Habib
Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah
Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah
mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji
dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah
dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan
sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.
Al-Habib
Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah
mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat
Al-Quthbaniyyah.”
Al-Habib Abu Bakar bin Said
Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai
majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan
secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku
telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah
menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula
yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib
Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari
dirinya".
Seorang guru Masjidil Harom dan
Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat
ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani.
Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku
ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak
lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah
Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani di sisi kami
bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti
dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku
berta'alluq kepadanya".
Al-Habib Ahmad bin
Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang
mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap
gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah
Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang
yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit
sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan
sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang
yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah
lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan
Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid
pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini".
Syaikh
Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah
Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali
Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang
berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih
Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh
Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal
setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris
depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap
apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan
keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka
kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib
Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya
oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.”
Al-Habib
Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi
pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman
(futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya
agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang
sempurna dan besar kepadanya.”
Al-Habib Thohir
bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan
dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya,bagi
mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts
Al-Habib Abdullah bin Alwy al-Haddad ra".
Al-Habib Umar bin
Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan
Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah
Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah
orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia
mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat
beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada
di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena
itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”
Wafatnya Beliau
Hari
kamis 27 Ramadhan 1132 H / 1712 M, beliau sakit dan tidak ikut shalat
ashar berjamaah di masjid dan pengajian sore. Beliau memerintahkan
orang-orang untuk tetap melangsungkan pengajian seperti biasa dan ikut
mendengarkan dari dalam rumah. Malam harinya, beliau sholat ‘isya
berjamaah dan tarawih. Keesokan harinya beliau tidak bisa menghadiri
sholat jum’at. Sejak hari itu, penyakit beliau semakin parah. Beliau
sakit selama 40 hari sampai akhirnya pada malam selasa, 7 Dzulqaidah
1132 H / 1712 M beliau wafat di kota Tarim, disaksikan anak beliau,
Hasan.
Beliau wafat dalam usia 89 tahun, meninggalkan banyak
murid, karya dan nama harum di dunia. Beliau dimakamkan di pemakaman
Zanbal, Tarim.
Meski secara fisik telah tiada, secara batin
Habib Abdullah bin Alawy Al-Haddad tetap hadir di tengah-tengah kita,
setiap kali nama dan karya-karyanya kita baca.
al-Quthub Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, mempunyai enam orang anak laki:
1. Zainal Abidin
2. Hasan, wafat di Tarim tahun 1188 H, anaknya Ahmad.
3. Salim
4. Muhammad, keturunannya di Tarim
5. Alwi, wafat di Makkah tahun 1153 H, keturunannya di Tarim
6. Husin, wafat di Tarim tahun 1136 H keturunannya di Aman, Sir, Gujarat
( Dikutip oleh HABAIB.NET dari Majalah Al Kisah No.18/tahun III/29 agustus-11 September 2005 dan Buku Tanya Jawab Sufistik )